Jumat, 20 Maret 2009

"Pelajaran"-nya justru setelah Pelajaran: sebuah Refleksi atas Pendidikan yang Mencerahkan

Cerita dari masa lalu:
Yang teringat dari Pak Pri, Drs. Supriono, guru matematika kala SMP, adalah dia sering berbagi pengalaman tentang hidup ketika tengah mengajar. Dikisahkan oleh kakak kelas saya waktu itu, "Kalau Pak Pri sudah cerita, buku matematika pun ditutup, dan anak-anak justru asyik mendengar cerita, hingga pelajaran selesai."
Satu penggalan peristiwa yang teringat, kala senja, hujan rintik-rintik (sekolah saya masuk siang waktu itu), Pak Pri menemani murid-muridnya yang tengah mengerjakan soal latihan matematika. Dia sempat berujar, "Aku kok kanyeben, yo" (maksudnya kedinginan). "Kalau ingat cuaca anyeb seperti ini, saya kok teringat saat anak saya sakit...", anak-anak sebagian mulai memindahkan perhatian dari buku ke guru, "...panas tinggi, nangis nggak berhenti-henti...", anak-anak perlahan-lahan mulai meletakkan pensilnya, selesai tidak selesai menyelesaikan soal, "...ia digendong ibunya, nangisnya tidak berhenti, panasnya semakin tinggi, eh, ibunya malah ikut nangis...", anak-anak tertawa perlahan, namun bersama-sama, "...saya ambil dan gendong anak saya, saya bingung nggak tahu harus berbuat apa...". Anak-anak sudah mulai berkonsentrasi pada cerita Pak Pri, "...Tiba-tiba saya kepikiran untuk sholat. Padahal selama ini saya sudah lama nggak sholat lagi. Saya gelar sajadah, anak saya saya tidurkan di depannya, dan saya mulai sholat. Tak berapa lama kemudian tangisnya berhenti, dan panasnya berangsur turun. Memang seolah ajaib, tapi itu terjadi nyata...", anak-anak manggut-manggut, dan melanjutkan mendengarkan Pak Pri menyelesaikan cerita itu: bahwa ia telah mengalami kejadian spiritual yang luar biasa, dan itu yang menjadikannya rajin sholat hingga sekarang.
Pak Pri, beserta sisipan-sisipan cerita setelah pelajar, adalah satu dari berbagai pengalaman mencerahkan yang saya dapat di sebuah sekolah di pinggir kota Semarang. Di balik kepandaian dan kekeluargaannya para guru, dedikasi para senior pramuka, dan kebersamaannya kawan-kawan, saya terbekali dengan bukan sekadar ilmu pengetahuan, tetapi nilai-nilai yang mampu mengubah sikap dan perilaku saya, hingga kini.
****
Cerita dari masa kini:
Beberapa hari lalu, di Kompas, seorang mantan juara Olimpiade Fisika mempertanyakan pengetahuan fisika yang diajarkan kepadanya: apakah ada relevansinya dengan kehidupan nyata. Seorang mahasiswa, dalam sebuah forum resmi, menyatakan bahwa selama 4 tahun kuliah di ITB, ternyata ia merasa tidak "belajar apa-apa". Seorang kawan, di forum fesbuk, menyatakan bahwa dia (sering) tidak akur dengan pendidikan formal. Senior saya mengatakan, secara bisik-bisik pas acara temu alumni, bahwa banyak alumni kita yang lulus dengan "pundung" (kecewa). Seorang rekan dosen, dalam milis, mengungkapkan bahwa hendaknya mahasiswa jangan dijadikan wahana eksistensi dosen. Duhai, inikah wajah pendidikan masa kini?
Ketika saya tengah masih mahasiswa itu, saya juga sempat merasakan bahwa "Life is begun since the last task is sumbitted". Bukan ujian terakhir, tetapi tugas terakhir, karena setelah ujian biasanya masih ada beberapa tugas yang musti dikumpulkan. Rasanya kelegaan yang sangat: dan saya bisa berpikir lebih lapang untuk melanjutkan aktivitas kemahasiswaan, bersilaturahmi dengan kawan-kawan, menulis di jurnal kampus, atau, ehm, mencoba menjalin cinta demi masa depan. Kesempatan terasa terhampar luar, memberi ruang buat karsa yang telah "menjalani hidup dalam ruang yang sesak" selama satu semester.
Di tengah sesaknya suasana pendidikan pragmatis seperti itu, saya sempat berpikir, idealnya tujuan pendidikan adalah untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang menjadi lebih baik. Namun bagi sebagian (besar) orang, pendidikan adalah sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Ini masih mending, daripada belajar dengan motivasi untuk bergaya (mendapatkan gelar). Atau ada juga yang nggak tahu tujuannya untuk apa, sekadar ikut teman atau disuruh orang tua. Idelita tujuan pendidikan, terasa berdiri dalam tempat yang sempit, ditengah berbagai motivasi (tepatnya: kepentingan) dalam realita pendidikan itu.
Namun, saya berhenti memaki pendidikan-yang-menurut-saya-tidak-mencerahkan itu, seiring dengan mulainya kesadaran untuk menerima realita apa adanya, baik atau buruk, sebagaimana keberadaan idealita sebagai bagian indah dari realita itu sendiri. Sebuah pikiran positif dimunculkan: meski tidak terlalu "mencerahkan": pengetahuan ala tukang yang saya dapatkan dari perkuliahan, minimal etos kerja seperti itu, cukup berperan dalam usaha saya mencari nafkah sampai sekarang. Meskipun kalau diakui lebih dalam dan jujur, sebenarnya lebih banyak "pengetahuan tentang hidup" yang jauh lebih berperan, yang memang tidak sempat terpelajari dalam dalam kuliah-kuliah formal.
Saya beruntung pernah mendapatkan "pelajaran" (sejati) setelah pelajaran (sekolah) ala Pak Pri. Sama beruntungnya ketika merasakan diajar oleh guru-guru berkemampuan tinggi namun tetap dalam suasana kekeluargaan. Namun, saya juga mencoba merasa "beruntung" pernah dididik selayaknya tukang "ahli" pencari kerja. Seperti "keberuntungan" ketika harus menjalani menjadi bagian dari eksistensi (atau egoisme?) dari dosen saya. Saya beruntung telah mengalami pendidikan "yang tidak mencerahkan", tidak memberi pengaruh signifikan pada perubahan sikap dan perilaku, pendidikan yang sekadar memenuhi target tertentu, bersanding dengan "pelajaran-pelajaran" tentang hidup yang "mencerahkan".