Senin, 10 Agustus 2009

WS Rendra vs mbah Surip vs Noordin M. Top (dalam pemberitaan)

Tiga momentum sejarah dalam satu minggu pada awal Agustus 2009. Luar biasa, hanya dalam satu minggu, tiga narasi besar yang berbeda-beda mengalami momentum hampir serentak. Ketiganya adalah berita tentang kematian. Narasi pertama adalah tentang musik rakyat jelata dalam industri pop lewat sosok mbah Surip. Narasi kedua adalah perjalanan sastra Indonesia pasca angkatan 60-an dalam figur WS Rendra. Narasi ketiga adalah radikalisme agama yang dilabelkan dengan terorisme abad ke-21 dengan Noordin M. Top sebagai penandanya.

Dan rasanya, pemberitaan terhadap WS Rendra terasa kalah oleh pemberitaan terhadap mbah Surip dan Noordin M. Top...

Saya merasakan sedikit ketidakadilan pemberitaan WS Rendra setelah membaca sindiran Emha Ainun Nadjib pada sebuah media massa nasional. Gumam sang budayawan, "apakah ribuan orang yang melayat mbah Surip di bengkel teater tahu di mana sang tuan rumah sekarang? Apakah pemakaman Rendra juga akan dihadiri ribuan massa seperti pemakaman mbah Surip?". Meskipun dengan merendahkan diri sebagai pikiran iseng dari hati yang masih kotor, ungkapan Emha Ainun Nadjib ini terasa sebagai sebuah sindiran: benarkah kita lebih menghargai budaya yang sensasional, trend terkini, sesuatu yang lebih menarik kerumunan, sesuatu yang lebih Pop daripada budaya sebagai representasi perjuangan? Sindiran Emha ini semakin saya rasakan, ketika ia menghadapi kebingungan ketika harus "melawan" massa pelayat mbah Surip yang berdesak-desakan ingin mencium tangan Manohara.



Dan "kalahnya" WS Rendra oleh pemberitaan media terlihat pada suatu acara bincang malam di stasiun televisi swasta. Agendanya, membahas Rendra dari orang-orang terdekatnya, dengan narasumber Sitoresmi dan Putu Wijaya. Dalam acara yang rencananya berlangsung satu jam itu, nara sumber ternyata hanya bisa mengucap sepatah dua patah kata (dalam arti sebenarnya, karena hanya tampil tak lebih dari lima belas menit). Acara ini lebih banyak diselipi oleh pemberitaan pengepungan sebuah rumah di Temanggung (dan selingan iklan tentunya). Selipan berita ini terus memenuhi dari seperempat jam awal acara hingga acara selesai (dan saya bingung, apakah narasumber yang sudah hadir di situ dicuekin begitu saja,ya...).

Ah, wajar. Berita yang menyelip (atau menindas, ya?) acara tentang Rendra memang berpotensi mengumpulkan kerumunan pemirsa yang sangat banyak. Terbukti selipan berita ini kemudian menjadi berita utama televisi ini sepanjang hari, dan esok harinya di sepanjang kota saya temui banyak orang mengerumuni televisi menyaksikan berita ini (selayaknya pertandingan PSSI kala masa jayanya dulu). Tentu saja, aktor berita itu adalah Noordin M. Top, yang tengah menghitung waktu kekalahannya oleh sergapan tim Densus 88 Mabes Polri.

Ah, selayaknya sebagai sebuah sekondan bagi budaya pop, media massa tentu sepaham dengan isme pop di sini, lebih mementingkan kerumunan daripada kedalaman. Bukan, bukan berarti mengesampingkan kedalaman. Sebagai sebuah entitas budaya, sudah barang tentu media tidak meninggalkan perannya sebagai saluran budaya masyarakat. Tidak, pemberitaan tentang Rendra tidak dilupakan, hanya dipindahkan sesaat, karena ada yang lebih mendesak, dan bukan karena lebih penting.

Ah, sepertinya seperti cara saya menyimpan buku "Balada Orang-orang Terbuang"-nya Rendra, ada di pelosok rak buku. Bukan karena saya tak menganggap penting karyanya, tetapi buku-buku di bagian depan semata-mata adalah buku yang sedang saya suka baca saat ini.

Dan ketika mbah Surip meninggal, sang presiden pun mengirim karangan bunga. Ah, sebuah ungkapan dari seorang pencinta seni dan budaya. Atau memanfaatkan kerumunan demi citra dan popularitas, mengingat presiden kita memang sangat piawai dalam hal ini? Ah, tidaklah. Karena beliau pun turut mengucapkan bela sungkawa -lewat menteri terpercaya- saat sang pujangga tiada.

Tidak, Anda sedang tidak dikalahkan duhai sang Pujangga, sedang tidak dipinggirkan. Hanya kalau ada momentum yang lebih membuat sensasi, orang-orang pasti mengalihkan pandangannya ke situ. Apakah trend sesaat membuat mereka lupa pada perjalananmu dalam jiwa bangsa ini, hanya mereka yang tahu...

Rabu, 05 Agustus 2009

Mbah Surip dan Teknologi Internal Bangsa Indonesia

"Sekali berarti, sesudah itu mati...". Petikan puisi Chairil Anwar ini sepertinya sesuai untuk menggambarkan fenomena mbah Surip di Indonesia. Bagi saya, kepergian mbah Surip masih meninggalkan sebuah tanya: mengapa lagu-lagunya bisa sangat disukai banyak orang di negeri ini? Adakah pemahaman yang lebih besar untuk menjawabnya?

Apakah karena lagu "Tak Gendong" mudah diingat orang, sehingga banyak orang yang suka? Mungkin salah satunya. Tetapi sepertinya lebih dari itu. Ada yang lebih dalam daripada sekadar kebanyakan produk-produk budaya Pop yang asal mudah diingat orang dan laku dijual, dan acapkali mengesampingkan kedalaman makna dalam sebuah karya.

Selain karena lagunya, mungkin orang juga tertarik pada sosok mbah Surip sendiri. Dari guratan-guratan wajahnya, tawanya yang sangat lepas, spontanitas yang tidak dibuat-buat, sepertinya sosok mbah Surip mewakili jiwa orang-orang yang menggemari lagu-lagunya itu.

Selain mbah Surip, ada sosok yang mirip yang muncul dalam media kita, yaitu Master Tarno. Dia adalah seorang pesulap tradisional yang mengikuti kontes pesulap dalam sebuah stasiun televisi, dan langsung mendapatkan gelar "master" dalam penampilan perdananya. Padahal gelar itu seharusnya hanya akan diberikan kepada sang juara saja. Mengapa Master Tarno layak menyandang gelar tersebut, salah seorang komentator kontes tersebut menyebutkan karena pria ini mempunyai ketulusan yang penuh, ketulusan dalam menjalani profesinya.

Ketulusan, aura seperti inilah yang juga terlihat pada sosok mbah Surip. Kepolosannya, dan sikap apa adanya, membuatnya menjadi sosok yang terlihat luwes di mana saja. Bisa bergaul dengan kalangan jetset, tetapi tetap dekat dengan kawan-kawan akarrumput-nya. Lagunya gampang, tetapi tidak gampangan. Syairnya bisa dikaji secara mendalam, tetapi nggak apa-apa kalau cuma dibuat sebagai guyonan semata. Seandainya dia disuruh naik Ferrari pasti mau, disuruh naik sepeda onthel pun dijalani. Sebagian orang menyebut mbah Surip adalah sosok orang Indonesia itu sendiri.

Ya, mbah surip adalah sosok orang Indonesia itu sendiri. Bagi saya, inilah jawaban atas pertanyaan mengapa banyak orang menyukai lagu mbah Surip. Sosok yang mempunyai sikap apa adanya, sebuah sikap yang diam-diam diidamkan dalam hati orang-orang Indonesia. Dan sosok mbah Surip telah menjadi sebuah representasi, sebuah perjalanan kultural bangsa Indonesia untuk menjadi "apa adanya".

Emha Ainun Najib menyebutnya sebagai "teknologi informal". Teknologi dipahami sebagai sekumpulan cara untuk menyelesaiakan suatu masalah. Sebagian orang mengembangkan "teknologi eksternal" dengan "mengolah dunia di luar" dirinya. Maka dibangunlah gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan serangkaian alat untuk memudahkan hidup manusia.

Tetapi budaya manusia atau masyarakat yang menghuni nusantara ini lebih banyak mengembangkan "teknologi internal": cara menyelesaikan masalah dengan "mengolah dunia dalam dirinya". Makan enak tidak dilihat dari jenis atau mahalnya, tetapi lebih pada cara memperlakukan makanan tersebut. Penderitaan berkepanjangan cukup dijawab dengan "Gusti Allah mboten sare (Gusti Allah tidak tidur)". Jalan yang tidak rata tidak diatasi dengan menggelar karpet di mana-mana, tetapi cukup dengan memakai sandal di kaki masing-masing.

Selamat jalan mbah Surip. Meski sekali berarti dan sesudah itu mati, tetapi dirimu telah menjadi penanda. Penanda sebuah perjalanan nirkasat mata yang sedang dikembangkan bangsa ini dalam kehidupan dunia.