Minggu, 24 Mei 2009

Dia Lelaki Ilham Dari Surga

by Ebiet G Ade

Dia yang berjalan melintasi malam
adalah dia yang kemarin dan hari ini
akan selalu menjadi ribuan cerita
karena dia telah menempuh semua perjalanan
Dia berjalan dengan kakinya,
dia berjalan dengan tangannya,
dia berjalan dengan kepalanya
tetapi ternyata ia lebih banyak berjalan dengan pikirannya

Dia jelajahi jagat raya ini
dengan telanjang kaki dan tubuh penuh daki
Meskipun ia lebih lapar dari siapapun,
meskipun ia lebih sakit dari siapapun
ia menempuh lebih jauh dari siapapun
Meskipun ia lebih miskin dari siapapun,
meskipun ia lebih nista dari siapapun
Tetapi ternyata ia lebih tegak perkasa dari siapapun

Batu-batu seperti menyingkir
sebelum ia datang, sebelum ia lewat
Semak-semak seperti menguak
sebelum dia injak, sebelum dia menyeberang
Ia berjalan dengan matanya,
ia berjalan dengan perutnya,
ia berjalan dengan punggungnya
tetapi ternyata ia lebih banyak berjalan dengan fikirannya

Gadis-gadis selalu menyapa
karena dia tampan meskipun penuh luka
Kata-katanya tak bisa dimengerti
Tetapi selalu saja akhirnya terbukti
ia lelaki gagah perkasa,
ia lelaki ilham dari sorga,
ia lelaki yang selalu berkata,
"bahwa kita pasti akan kembali lagi kepada-Nya."

Sabtu, 23 Mei 2009

Salah Kaprah (1): Town Square

Kotak apa yang bulat?
Ini tebakan serius. Tepatnya benda apa yang disebut bujursangkar, tetapi kenyataannya berbentuk lingkaran?
Jawabannya: Citos! (Cilandak Town Square)
Lho, kok bisa?

Square, secara harfiah berarti bujur sangkar. Maknanya bisa diperlebar, seperti menjadi kuadrat (dari luas bujur sangkar), atau pusat kota (berupa lapangan terbuka berbentuk bujursangkar, seperti alun-alun).
Nah, coba kita lihat pusat lingkungan/alun-alun (--> square)-nya Citos, yang berbentuk lingkaran bukan?

Dan makna square ini kini telah bergeser dari makna semula. Awalnya berarti bujursangkar, kemudian meluas menjadi pusat kota yang berupa lapangan terbuka berbentuk bujur sangkar. Konotasi pusat kota, pusat berkumpulan orang, kemudian dipinjam menjadi penyebut pusat perbelanjaan yang mampu mengumpulkan orang dan menjadi pusat perhatian pada kawasan di sekitarnya (eg Las Vegas Town Square, atau Southlake Town Square, yang memang mengklaim sebagai jantung kota). Di Indonesia, selayaknya trend (atau latah?), istilah town square menjadi penyebut pusat perbelanjaan besar (jangan-jangan, orang awam justru mengartikan town square sebagai pusat perbelanjaan, bukan lagi pusat kota/alun-alun. hii...)

Dan salah kaprah ini pun menyusahkan orang (eh, menyusahkan saya, ding, nggak enak mengklaim orang lain...). Tepatnya, ketika saya dan istri harus mengantar si kembar ikut lomba menyanyi mewakili TK-nya, bertempat di "Kopo Square". Menilik namanya, benak saya langsung membayangkan sebuah pusat perbelanjaan besar di kawasan Kopo, yang secara fisik terlihat sangat menonjol di kawasan ini. (Bahkan terlihat dari jalan Tol).

Namun ketika kami tiba di pintu gerbang Mall ini, ternyata bukan ini "Kopo Square"-nya. Kata si penjaga, kopo square masih 500 meter lagi ke arah Selatan. Di belakang kami (kayaknya sebelumnya juga). banyak ibu-ibu pengantar anak-anak TK yang kecele, terlanjur turun dari angkot di depan bangunan yang memang terlihat sebagai landmark-nya kawasan kopo.

Lima ratus meter kami melanjutkan pencarian ke arah selatan, dan tak kunjung mendapati bangunan atau penanda yang menunjukkan suatu mall besar yang mengasosiasikan sebuah square. Merasa telah kelewat, kami memutuskan memutar (bayangkan memutar di Jalan Kopo yang full macet itu, bagaimana coba? Untung ada satpam telkom yang membiarkan kami memutar mobil di halaman yang ia jaga. Trims, pak). Melewati jalan yang padat merayap, akhirnya kami menemukan tulisan "Kopo Square" pada suatu jalan kecil yang masuk ke dalam kawasan. Ternyata tempat ini yang bernama "Kopo Square". Yang ada hanya hamparan luas lahan siap bangun dan sebuah kantor pemasaran. Tak ada mall besar, tak ada kesan pusat kegiatan kawasan, atau pusat lingkungan yang berbentuk bujursangkar (semacam alun-alun, lah).

Kasus ini sama dengan istilah Plaza. Barusan saya tanya Fulli, anak saya, apa artinya Plaza. Jawab dia, tempat ngumpul-ngumpul, semacam mall. Lho, padahal plaza aslinya adalah penyebutan orang Italia terhadap ruang terbuka, tempat kumpul-kumpul. Untunglah anakku masih menyebut tempat kumpul-kumpul, nggak terlalu salah.

Salah kaprah?

Ketika saya SMP, dalam pelajaran Bahasa Jawa, salah satu materi yang diajarkan adalah tentang "Salah Kaprah" (lho, salah kok diajarkan?). Di situ dijelaskan, bahwa salah kaprah adalah suatu ungkapan yang sebenarnya salah, tetapi telah menjadi kebiasaan umum. Seperti "nggodhog wedang" (merebus air minum) harusnya "nggodhog banyu" (merebus air mentah), "ngliwet sego (menanak nasi) harusnya "ngliwet beras" (menanak beras), "njahit klambi" (menjahit baju) harusnya "njahit kain" (menjahit kain), dan sebagainya. Dan yang saya dapatkan dari pelajaran "Salah Kaprah" ini adalah, meski harus salah demi mengikuti kebiasaan (misalnya untuk menghindari konflik), tetapi kita tetap tahu bahwa pernyataan itu salah.