Senin, 02 November 2009

Kertas yang Segera Dibuang dan Dilupakan

Sejumput kertas bekas
Suatu ketika sangat kuperlukan
Kala isi kepala ini perlu dikeluarkan
Bersama pena dan gerakan tangan
sang kertas bekas menjadi tumpuan lahirnya pemikiran

Kertas bekas itu bertumpuk
Kubundel menjadi beberapa bagian
Uh, banyak benar tumpukannya
Hmm, berarti banyak juga pikiranku yang tercurah padanya

Akhirnya catatan pada kertas bekas itu kupindahkan
Pada format digital yang lebih abadi
Sembari aku menata kembali curahan pikiran dan isi hatiSatu per satu kertas bekas itu kusisihkan
Untuk kemudian kusingkirkan

Lembaran kertas bekas itu kini menumpuk
Tak berarti lagi
Karena catatan padanya telah kusalin
Dalam format yang lebih rapi
Tak ada gunanya lagi untuk memenuhi meja kerjaku
Bahkan ia telah menjadi beban di situ

Menjelang ia kusingkirkan
Sejenak kulihat coret-coretan diatasnya
Hmm, sudah menjadi takdirnya yang harus segera pergi, harus segera dimusnahkan
Dan keberadaannya akan segera dilupakan
Dan digantikan oleh mereka yang lebih baru
Namun dalam sejenak itu aku merasa bahwa ia pernah berperan
Meski aku sadar bahwa dia pun musti kutinggalkan

Sejenak berperan, sudah itu dimusnahkan, dan dilupakan
Takdir si kertas bekas yang pernah jadi tumpuan pemikiran
Hmm, tetapi, bukannya itu takdir semua yang ada di dunia ini?

Bandung, 1 November 2009

Kamis, 15 Oktober 2009

Si Kembar dan Mesin ATM

Kata istri saya, ITB adalah kampus yang paling nyaman untuk jalan-jalan (suit, suit...). Selain suasananya yang teduh, penuh pohon berbunga, ada burung-burung (awas, ketiban eek burung...), dan nyaman untuk pejalan kaki (ya, iya lah, kan desainnya kudu memperhatikan accesibility for diffabables --> sok ngarsitektur...).

Salah satu tempat favorit kami saat jalan-jalan di ITB (sama anak2, tentunya, kalau berdua 'kan bisa disuit-suitin mahasiswi...), adalah mesin ATM. Awalnya karena musti memenuhi hasrat dasar kebutuhan manusia (ambil doku, kamsudnya, soalnya tanpa ini 'kan nggak bisa beli2), namun lama-lama saya merasa nyaman berada di kotak kecil ini, ini karena adhemm nian, soalnya ada AC-nya menyala terus. Akhirnya kadang-kadang nggak terlalu butuh pun maksain masuk ke kamar ATM, meski cuma narik 20 ribu doang, yang penting ngademm...

Dan moment ini pastinya tak dilewatkan oleh si Kembar, yang kemudian bikin moment-moment sendiri di kotak kaca ini. Dari kotak kaca ini, mereka berdua mencoba melihat ke luar. Jelas nggak bisa, wong kacanya dilapis stiker kaca es yang buram gitu. Alhasil, si kembar mencoba melongok dunia di luar kamar ATM melalui kaca yang tidak ditempeli stiker buram, yaitu kaca di bagian bawah. Soalnya kalau melongok lewat kaca bagian atas, belum nyampai (ya, iya lah, memang mau sunggi-sunggi-an...). Suatu saat saya melihat atraksi bocah kembar tersebut dari luar kamar ATM. "Atraksi" dua kepala kecil berdimpitan dengan wajah nyengir usil nongol di balik kaca bening bagian bawah ATM (aduh, susah banget nulisnya, bayangin aja 'ndiri, deh...) membuat beberapa pengantri ATM "tercuri" perhatiannya (terlihat dari raut muka yang berubah rada kaget --> sok analitis mode: on).

Interaksi si Kembar dengan mesin ATM berlanjut. Kali ini kebiasaan kalau ikut bundanya di ATM, mereka bergaya menadahkan tangan di depan mesin ATM seolah-olah uang dari ATM nya bakal jatuh. Begitu kebiasaannya, dan dilakukan secara bergantian. Padahal yang terjadi sesungguhnya uangnya nggak bakalan jatuh, tapi dengan gayanya itu, mereka menarik uangnya. Narik uang saja kebanyakan gaya. Padahal nggak semua urusan sang bunda di ATM menarik uang. Kadang mengecek apa transferan sudah masuk atau belum (maklum, businesswomen...). Dan kalau udah kejadian gini, si Kembar kecele, lah akhirnya, sudah terlanjur gaya, bukannya dapat doku, malah dapat kwaci. Kwaciaaan, deh, lu...
(baru nggak kwacian kalau ada orang lain liat gaya-gaya kalian di ATM, terus narik duit, sebagian dikasihin ke kalian. Maunya, tuh...)

Urusan dengan uang, si Kembar juga punya tingkah lain. Pas saat lebaran, anak-anak mendadak dangdut, eh, mendadak kaya, karena dapat THR dari pakde budhe oom dan tantenya (btw: kok lebih banyak disebut oom tante, ya, nggak paklik bulik?). THR yang yang paling disukai si Kembar adalah kala mendapat dua ribuan baru sebanyak masing-masing sepuluh biji dari tante dan eyangnya. Nah, ketika oomnya yang lain ngasih masing-masing 50 ribuan, cuma selembar, si Kembar protes. "Oom, nggak mau. Maunya dikasih yang banyak, kayak yang dikasih tante tadi..." Wee, dasar bayi-bayi, tahunya 10 lembar 2 ribuan baru lebih banyak daripada selembar 50 ribuan. Biasa, masih terpukau oleh jumlah dan bentuk, bukan esensi...(nyindir yang dewasa, nih, yee...). Tapi, nggak papa, deh, siapa tahu tahun depan kalian akan dikasih 10 lembar 50 ribuan baru (maunya...)

Snapshots: Komputer yang Bisa Mengetik Sendiri

Snapshot 1: Komputernya bisa ngetik sendiri...

Saya rada males kalau harus ngeformat USB flashdisk 1GB, karena bisa memakan waktu satu jam lebih (waduh, ini bisa termasuk timevora, nih= sejenis makhluk pemakan waktu, :D). Nah, pas ada kesempatan menjemput Fulli (sambil bawa si kembar tentunya, biar suasana jadi renyah di jalan...), saya putuskan untuk mempformat itu flashdisk. Sebelum berangkat saya sempat buka note book, colok flashdisk, dan run format, berharap kerjaan ini sudah kelar begitu kami pulang nanti. Jenina yang melihat ayahnya justru bekerja di depan komputer mendadak bertanya,
Jenina: "Ayah kok kerja? Nggak jadi jemput kak Fulli" (raut muka memelas do'i seakan berkata kok kita tidak jadi pergi)
Ayah: "Jadi, nak. Ayah cuma mau memformat flashdisk. Biar waktu kita pergi, komputernya tetap bisa kerja".
Jenina: "Hah, jadi komputernya bisa kerja sendiri? Bisa ngetik sendiri?" (sembari matanya berbinar, mungkin membayangkan komputer bokapnya "ngetik" sendiri")
Ayah: "Bukan, Jen. Maksudnya..."(males ngejelasin, ah, nunggu dia gede aja baru dijelasin...)

***

Snapshot 2: Tuna Maya

Gara-gara pulang dari les ndengerin syair lagunya Kris Dayanti tentang "tuna cinta", Fulli langsung tanya:
Fulli: "Ayah, tuna cinta itu apa, sih?"
Ayah: "Lho, kan kayak tuna wisma, tuna netra, tuna rungu. Kalau tuna wisma artinya apa?
Fulli: "Orang yang nggak punya rumah"
Ayah: "Kalau, tuna rungu?"
Fulli: "Orang yang nggak bisa mendengar"
Ayah: "Kalau tuna netra?"
Fulli: "Orang yang nggak bisa melihat?"
Ayah: "Kalau tuna maya?"
Fulli:"....????"
Ayah: "kalau ikan tuna?"
Fulli:"....???" (belum ngerti kalau bokapnya baru baca buku plesetannya Kelik Pelipur Lara...)

Sabtu, 19 September 2009

Malam Lebaran: Bulan di atas Kuburan

Judul di atas merupakan puisi karya Sitor Situmorang yang saya kenal pertama kali kala SMP. Ya, puisi itu memang berisi kata-kata yang menjadi judul tulisan ini. Karena itulah saya hafal sampai sekarang.Bu Lastri, guru bahasa sastra saat itu, menjelaskan makna di balik puisi singkat Oom Sitor itu. Puisi itu, kata Bu Lastri, melambangkan kritik sang penyair terhadap cara berlebaran masyarakat Indonesia. Lebaran, harusnya diperingati dengan renungan mendalam, sebuah kedukaan karena harus berpisah dengan bulan gelimang pahala. Tapi orang-orang malah merayakannya dengan foya-foya.

Namun beberapa tahun setelah itu, saya mendapatkan penjelasan lain mengenai puisi itu. Konon Pak Sitor tidak menyampaikan opini apa-apa terhadap puisinya tersebut. Kebetulan pas malam lebaran, dia melihat ada bulan di atas kuburan. Cling... dan lahirlah puisi tersebut. Tetapi kalau dilihat lebih jeli, penjelasan ini sepertinya tidak tepat, mengingat lebaran selalu jatuh pada tanggal 1 kelender hijriah, di mana bulan tidak terlihat dari bumi. Atau jangan-jangan yang ngawur itu puisinya. Cobalah tengok ke langit kala malam lebaran. Kecuali petugas hilal (yang melihat bulan dengan teropong), niscaya Anda tak akan melihat bulan.

Ngawur atau tidak, mbeling atau serius, pengamatan atau khayalan, puisi itu jelas telah menamkan makna bagi banyak orang. Seperti interpretasi yang diajarkan Bu Lastri kepada anak2 didiknya: dimana harusnya kita merenung akan kedukaan kita, dan bukannya berfoya-foya.

Hmm, kali ini saya punya penafsiran tersendiri. Kebetulan saat ini malam lebaran, dan ada sedikit kedukaan yang tengah menemani saya. Tetapi ini cukup mengantarkan empati saya pada kedukaan-kedukaan yang lebih besar yang dialami saudara-saudara saya pada malam lebaran. Kedukaan yang dialami mereka yang "berani mati" untuk mengantre sembako ramadhan. Kedukaan yang saya lihat ketika para mustahiq menunggu dari pagi, sebelum panitia zakat datang, untuk menerima jatah zakat fitrah mereka. Kedukaan yang dialami seorang anak kecil yang setelah menerima paket zakatnya, dicegat oleh 3 orang lelaki dewasa, dan memaksa anak tersebut untuk menyerahkan bungkusan zakat itu. Zakat fitrah, yang oleh Nabi Muhammad diharuskan diberikan kepada mereka yang berhak sebelum sholat idul fitri. "Supaya di tidak ada kelaparan di Hari Raya", pesan beliau.

Di balik konsep zakat fitrah ini, tersimpan kenyataan bahwa memang ada kelaparan pada hari raya. Memang ada kedukaan saat masa lebaran. Kedukaan karena manusia harus menjalani takdirnya hidup di bumi ini. Namun, ditengah kedukaan itu, masih ada seberkas sinar yang menyapa. Masih ada zakat fitrah yang bisa melupakan rasa lapar pada masa lalu.

Yah, masih ada bulan di atas kuburan di malam lebaran.

Rabu, 16 September 2009

Negara-negara "Lucu"

Negara apa yang tampan
Afgan (istan)

Kalau negara cantik
Kamerun. Kamerun Diaz

Negara yang menjual pecel
Yu Nanik

Negara yang membantu menjual pecel
Ita dan Lia (anaknya Yu Nanik)

Negara yang bikin ketawa saat ngelenong
Mali. Mali Tongtong

Negara yang penduduknya sulit bilang tidak
Negeriya (maksudnya nigeria)

Negara apa yang bisa bikin bau
Mbuangthai

Negara apa yang anggotanya Leonardo, Donatello, Michaelangelo, dan Raphael
Korea. Korea-korea ninja

Negara yang tidak pernah gagal
Brasil

Negara yang jadi judul film-nya Warkop
Kenya. Maju kenya, mundur kenya

Negara yang dibutuhkan saat tidak ada pom bensin
Swedia. Swedia bensin 4 tax

Negara yang bisa bikin geregetan
Rwanda, Rwanda kembang

Negara yang selalu ditulis tetapi tidak pernah diikuti.
Maroko. Maroko bisa mengakibatkan gangguan kesehatan dan impotensi

Negara yang kerap menjadi awal dongeng
Yaman. Yaman dahulu kala...

Negara yang menjadi awal hitungan
Fiji. Fiji, foro, felu, fafat...

Negara yang mengingatkan pada Halo-halo Bandung
Sudan. Sudan lama beta tidak berjumpa dengan cow...

Negara yang membuat deg-degan.
Arab. Arab-arab cemas

Negara yang enak dipetik di malam sunyi
Hawaii. Hawaii gitar (btw, hawaii bukan negara, bro...)

Negara yang disukai Katon Bagaskara dan Ruth Sahaeta, eh, Sahanaya
USA, Usa kau simpan lara sendiri...

Negara yang tidak pernah hilang
Kan Ada...

Negara yang menjadi idaman wanita
Russia. Sepatu dari kulit russia (ih, lagu jadul, nih. Penyanyinya Ria Resti Fauzi...)

Negara yang ditanam di pinggir jalan tol
Albasia (pecahan dari Albania --> ngarang....)

Negara yang merupakan hasil kawin silang antara Orc dan Goblin
Urug-uay (baca: urukhai)

Negara-negara yang bisa bikin kaca mobil pecah
Peru. Perusuhan suporter sepakbola.

Negara yang menjadi pendiri kerajaan Mataram
Panama. Ki Ageng Panamahan

Negara apa yang bisa bikin selamat
Haiti. Haiti-haiti di jalan

Negara apa yang ada menjadi ciri kota Semarang
Togo. Togo Moda

Negara seribu satu malam
Irak (ini serius, lho...)

Negera seribu satu masalah
Indonesia (ini serius juga, loh...)

Senin, 10 Agustus 2009

WS Rendra vs mbah Surip vs Noordin M. Top (dalam pemberitaan)

Tiga momentum sejarah dalam satu minggu pada awal Agustus 2009. Luar biasa, hanya dalam satu minggu, tiga narasi besar yang berbeda-beda mengalami momentum hampir serentak. Ketiganya adalah berita tentang kematian. Narasi pertama adalah tentang musik rakyat jelata dalam industri pop lewat sosok mbah Surip. Narasi kedua adalah perjalanan sastra Indonesia pasca angkatan 60-an dalam figur WS Rendra. Narasi ketiga adalah radikalisme agama yang dilabelkan dengan terorisme abad ke-21 dengan Noordin M. Top sebagai penandanya.

Dan rasanya, pemberitaan terhadap WS Rendra terasa kalah oleh pemberitaan terhadap mbah Surip dan Noordin M. Top...

Saya merasakan sedikit ketidakadilan pemberitaan WS Rendra setelah membaca sindiran Emha Ainun Nadjib pada sebuah media massa nasional. Gumam sang budayawan, "apakah ribuan orang yang melayat mbah Surip di bengkel teater tahu di mana sang tuan rumah sekarang? Apakah pemakaman Rendra juga akan dihadiri ribuan massa seperti pemakaman mbah Surip?". Meskipun dengan merendahkan diri sebagai pikiran iseng dari hati yang masih kotor, ungkapan Emha Ainun Nadjib ini terasa sebagai sebuah sindiran: benarkah kita lebih menghargai budaya yang sensasional, trend terkini, sesuatu yang lebih menarik kerumunan, sesuatu yang lebih Pop daripada budaya sebagai representasi perjuangan? Sindiran Emha ini semakin saya rasakan, ketika ia menghadapi kebingungan ketika harus "melawan" massa pelayat mbah Surip yang berdesak-desakan ingin mencium tangan Manohara.



Dan "kalahnya" WS Rendra oleh pemberitaan media terlihat pada suatu acara bincang malam di stasiun televisi swasta. Agendanya, membahas Rendra dari orang-orang terdekatnya, dengan narasumber Sitoresmi dan Putu Wijaya. Dalam acara yang rencananya berlangsung satu jam itu, nara sumber ternyata hanya bisa mengucap sepatah dua patah kata (dalam arti sebenarnya, karena hanya tampil tak lebih dari lima belas menit). Acara ini lebih banyak diselipi oleh pemberitaan pengepungan sebuah rumah di Temanggung (dan selingan iklan tentunya). Selipan berita ini terus memenuhi dari seperempat jam awal acara hingga acara selesai (dan saya bingung, apakah narasumber yang sudah hadir di situ dicuekin begitu saja,ya...).

Ah, wajar. Berita yang menyelip (atau menindas, ya?) acara tentang Rendra memang berpotensi mengumpulkan kerumunan pemirsa yang sangat banyak. Terbukti selipan berita ini kemudian menjadi berita utama televisi ini sepanjang hari, dan esok harinya di sepanjang kota saya temui banyak orang mengerumuni televisi menyaksikan berita ini (selayaknya pertandingan PSSI kala masa jayanya dulu). Tentu saja, aktor berita itu adalah Noordin M. Top, yang tengah menghitung waktu kekalahannya oleh sergapan tim Densus 88 Mabes Polri.

Ah, selayaknya sebagai sebuah sekondan bagi budaya pop, media massa tentu sepaham dengan isme pop di sini, lebih mementingkan kerumunan daripada kedalaman. Bukan, bukan berarti mengesampingkan kedalaman. Sebagai sebuah entitas budaya, sudah barang tentu media tidak meninggalkan perannya sebagai saluran budaya masyarakat. Tidak, pemberitaan tentang Rendra tidak dilupakan, hanya dipindahkan sesaat, karena ada yang lebih mendesak, dan bukan karena lebih penting.

Ah, sepertinya seperti cara saya menyimpan buku "Balada Orang-orang Terbuang"-nya Rendra, ada di pelosok rak buku. Bukan karena saya tak menganggap penting karyanya, tetapi buku-buku di bagian depan semata-mata adalah buku yang sedang saya suka baca saat ini.

Dan ketika mbah Surip meninggal, sang presiden pun mengirim karangan bunga. Ah, sebuah ungkapan dari seorang pencinta seni dan budaya. Atau memanfaatkan kerumunan demi citra dan popularitas, mengingat presiden kita memang sangat piawai dalam hal ini? Ah, tidaklah. Karena beliau pun turut mengucapkan bela sungkawa -lewat menteri terpercaya- saat sang pujangga tiada.

Tidak, Anda sedang tidak dikalahkan duhai sang Pujangga, sedang tidak dipinggirkan. Hanya kalau ada momentum yang lebih membuat sensasi, orang-orang pasti mengalihkan pandangannya ke situ. Apakah trend sesaat membuat mereka lupa pada perjalananmu dalam jiwa bangsa ini, hanya mereka yang tahu...

Rabu, 05 Agustus 2009

Mbah Surip dan Teknologi Internal Bangsa Indonesia

"Sekali berarti, sesudah itu mati...". Petikan puisi Chairil Anwar ini sepertinya sesuai untuk menggambarkan fenomena mbah Surip di Indonesia. Bagi saya, kepergian mbah Surip masih meninggalkan sebuah tanya: mengapa lagu-lagunya bisa sangat disukai banyak orang di negeri ini? Adakah pemahaman yang lebih besar untuk menjawabnya?

Apakah karena lagu "Tak Gendong" mudah diingat orang, sehingga banyak orang yang suka? Mungkin salah satunya. Tetapi sepertinya lebih dari itu. Ada yang lebih dalam daripada sekadar kebanyakan produk-produk budaya Pop yang asal mudah diingat orang dan laku dijual, dan acapkali mengesampingkan kedalaman makna dalam sebuah karya.

Selain karena lagunya, mungkin orang juga tertarik pada sosok mbah Surip sendiri. Dari guratan-guratan wajahnya, tawanya yang sangat lepas, spontanitas yang tidak dibuat-buat, sepertinya sosok mbah Surip mewakili jiwa orang-orang yang menggemari lagu-lagunya itu.

Selain mbah Surip, ada sosok yang mirip yang muncul dalam media kita, yaitu Master Tarno. Dia adalah seorang pesulap tradisional yang mengikuti kontes pesulap dalam sebuah stasiun televisi, dan langsung mendapatkan gelar "master" dalam penampilan perdananya. Padahal gelar itu seharusnya hanya akan diberikan kepada sang juara saja. Mengapa Master Tarno layak menyandang gelar tersebut, salah seorang komentator kontes tersebut menyebutkan karena pria ini mempunyai ketulusan yang penuh, ketulusan dalam menjalani profesinya.

Ketulusan, aura seperti inilah yang juga terlihat pada sosok mbah Surip. Kepolosannya, dan sikap apa adanya, membuatnya menjadi sosok yang terlihat luwes di mana saja. Bisa bergaul dengan kalangan jetset, tetapi tetap dekat dengan kawan-kawan akarrumput-nya. Lagunya gampang, tetapi tidak gampangan. Syairnya bisa dikaji secara mendalam, tetapi nggak apa-apa kalau cuma dibuat sebagai guyonan semata. Seandainya dia disuruh naik Ferrari pasti mau, disuruh naik sepeda onthel pun dijalani. Sebagian orang menyebut mbah Surip adalah sosok orang Indonesia itu sendiri.

Ya, mbah surip adalah sosok orang Indonesia itu sendiri. Bagi saya, inilah jawaban atas pertanyaan mengapa banyak orang menyukai lagu mbah Surip. Sosok yang mempunyai sikap apa adanya, sebuah sikap yang diam-diam diidamkan dalam hati orang-orang Indonesia. Dan sosok mbah Surip telah menjadi sebuah representasi, sebuah perjalanan kultural bangsa Indonesia untuk menjadi "apa adanya".

Emha Ainun Najib menyebutnya sebagai "teknologi informal". Teknologi dipahami sebagai sekumpulan cara untuk menyelesaiakan suatu masalah. Sebagian orang mengembangkan "teknologi eksternal" dengan "mengolah dunia di luar" dirinya. Maka dibangunlah gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan serangkaian alat untuk memudahkan hidup manusia.

Tetapi budaya manusia atau masyarakat yang menghuni nusantara ini lebih banyak mengembangkan "teknologi internal": cara menyelesaikan masalah dengan "mengolah dunia dalam dirinya". Makan enak tidak dilihat dari jenis atau mahalnya, tetapi lebih pada cara memperlakukan makanan tersebut. Penderitaan berkepanjangan cukup dijawab dengan "Gusti Allah mboten sare (Gusti Allah tidak tidur)". Jalan yang tidak rata tidak diatasi dengan menggelar karpet di mana-mana, tetapi cukup dengan memakai sandal di kaki masing-masing.

Selamat jalan mbah Surip. Meski sekali berarti dan sesudah itu mati, tetapi dirimu telah menjadi penanda. Penanda sebuah perjalanan nirkasat mata yang sedang dikembangkan bangsa ini dalam kehidupan dunia.

Minggu, 24 Mei 2009

Dia Lelaki Ilham Dari Surga

by Ebiet G Ade

Dia yang berjalan melintasi malam
adalah dia yang kemarin dan hari ini
akan selalu menjadi ribuan cerita
karena dia telah menempuh semua perjalanan
Dia berjalan dengan kakinya,
dia berjalan dengan tangannya,
dia berjalan dengan kepalanya
tetapi ternyata ia lebih banyak berjalan dengan pikirannya

Dia jelajahi jagat raya ini
dengan telanjang kaki dan tubuh penuh daki
Meskipun ia lebih lapar dari siapapun,
meskipun ia lebih sakit dari siapapun
ia menempuh lebih jauh dari siapapun
Meskipun ia lebih miskin dari siapapun,
meskipun ia lebih nista dari siapapun
Tetapi ternyata ia lebih tegak perkasa dari siapapun

Batu-batu seperti menyingkir
sebelum ia datang, sebelum ia lewat
Semak-semak seperti menguak
sebelum dia injak, sebelum dia menyeberang
Ia berjalan dengan matanya,
ia berjalan dengan perutnya,
ia berjalan dengan punggungnya
tetapi ternyata ia lebih banyak berjalan dengan fikirannya

Gadis-gadis selalu menyapa
karena dia tampan meskipun penuh luka
Kata-katanya tak bisa dimengerti
Tetapi selalu saja akhirnya terbukti
ia lelaki gagah perkasa,
ia lelaki ilham dari sorga,
ia lelaki yang selalu berkata,
"bahwa kita pasti akan kembali lagi kepada-Nya."

Sabtu, 23 Mei 2009

Salah Kaprah (1): Town Square

Kotak apa yang bulat?
Ini tebakan serius. Tepatnya benda apa yang disebut bujursangkar, tetapi kenyataannya berbentuk lingkaran?
Jawabannya: Citos! (Cilandak Town Square)
Lho, kok bisa?

Square, secara harfiah berarti bujur sangkar. Maknanya bisa diperlebar, seperti menjadi kuadrat (dari luas bujur sangkar), atau pusat kota (berupa lapangan terbuka berbentuk bujursangkar, seperti alun-alun).
Nah, coba kita lihat pusat lingkungan/alun-alun (--> square)-nya Citos, yang berbentuk lingkaran bukan?

Dan makna square ini kini telah bergeser dari makna semula. Awalnya berarti bujursangkar, kemudian meluas menjadi pusat kota yang berupa lapangan terbuka berbentuk bujur sangkar. Konotasi pusat kota, pusat berkumpulan orang, kemudian dipinjam menjadi penyebut pusat perbelanjaan yang mampu mengumpulkan orang dan menjadi pusat perhatian pada kawasan di sekitarnya (eg Las Vegas Town Square, atau Southlake Town Square, yang memang mengklaim sebagai jantung kota). Di Indonesia, selayaknya trend (atau latah?), istilah town square menjadi penyebut pusat perbelanjaan besar (jangan-jangan, orang awam justru mengartikan town square sebagai pusat perbelanjaan, bukan lagi pusat kota/alun-alun. hii...)

Dan salah kaprah ini pun menyusahkan orang (eh, menyusahkan saya, ding, nggak enak mengklaim orang lain...). Tepatnya, ketika saya dan istri harus mengantar si kembar ikut lomba menyanyi mewakili TK-nya, bertempat di "Kopo Square". Menilik namanya, benak saya langsung membayangkan sebuah pusat perbelanjaan besar di kawasan Kopo, yang secara fisik terlihat sangat menonjol di kawasan ini. (Bahkan terlihat dari jalan Tol).

Namun ketika kami tiba di pintu gerbang Mall ini, ternyata bukan ini "Kopo Square"-nya. Kata si penjaga, kopo square masih 500 meter lagi ke arah Selatan. Di belakang kami (kayaknya sebelumnya juga). banyak ibu-ibu pengantar anak-anak TK yang kecele, terlanjur turun dari angkot di depan bangunan yang memang terlihat sebagai landmark-nya kawasan kopo.

Lima ratus meter kami melanjutkan pencarian ke arah selatan, dan tak kunjung mendapati bangunan atau penanda yang menunjukkan suatu mall besar yang mengasosiasikan sebuah square. Merasa telah kelewat, kami memutuskan memutar (bayangkan memutar di Jalan Kopo yang full macet itu, bagaimana coba? Untung ada satpam telkom yang membiarkan kami memutar mobil di halaman yang ia jaga. Trims, pak). Melewati jalan yang padat merayap, akhirnya kami menemukan tulisan "Kopo Square" pada suatu jalan kecil yang masuk ke dalam kawasan. Ternyata tempat ini yang bernama "Kopo Square". Yang ada hanya hamparan luas lahan siap bangun dan sebuah kantor pemasaran. Tak ada mall besar, tak ada kesan pusat kegiatan kawasan, atau pusat lingkungan yang berbentuk bujursangkar (semacam alun-alun, lah).

Kasus ini sama dengan istilah Plaza. Barusan saya tanya Fulli, anak saya, apa artinya Plaza. Jawab dia, tempat ngumpul-ngumpul, semacam mall. Lho, padahal plaza aslinya adalah penyebutan orang Italia terhadap ruang terbuka, tempat kumpul-kumpul. Untunglah anakku masih menyebut tempat kumpul-kumpul, nggak terlalu salah.

Salah kaprah?

Ketika saya SMP, dalam pelajaran Bahasa Jawa, salah satu materi yang diajarkan adalah tentang "Salah Kaprah" (lho, salah kok diajarkan?). Di situ dijelaskan, bahwa salah kaprah adalah suatu ungkapan yang sebenarnya salah, tetapi telah menjadi kebiasaan umum. Seperti "nggodhog wedang" (merebus air minum) harusnya "nggodhog banyu" (merebus air mentah), "ngliwet sego (menanak nasi) harusnya "ngliwet beras" (menanak beras), "njahit klambi" (menjahit baju) harusnya "njahit kain" (menjahit kain), dan sebagainya. Dan yang saya dapatkan dari pelajaran "Salah Kaprah" ini adalah, meski harus salah demi mengikuti kebiasaan (misalnya untuk menghindari konflik), tetapi kita tetap tahu bahwa pernyataan itu salah.

Rabu, 08 April 2009

Golput: Suara Lirih

Iseng-iseng (karena tujuannya sekadar untuk rame-rame) saya mem-posting pikiran saya tentang rapuhnya sistem penghitungan suara pemilu. Ternyata banyak kawan-kawan saya yang merespon: selain seorang yang aktif mem-posting menyuruh untuk tidak golput (dengan tendensi pada salah satu partai), banyak kawan lain yang menyatakan ke-golput-annya. Secara sistem golput memang tidak mempengaruhi pemilu, tetapi sebenarnya ada suara lirih dari mereka yang tidak memutuskan (secara sadar) dalam pemilu kali ini (banyak dugaan, proporsinya akan besar sekali saat ini).

Suara lirih golput ini, mengingatkan saya pada suara lirih kaum Samin (tepatnya: kaum Sedulur Sikep) di pesisir utara Jawa Tengah. Umumnya (seperti pernah diceritakan Kakek saya), orang kebanyakan menilai perilaku orang Samin aneh, "nyleneh" dari kebiasaan orang Jawa pada umumnya. Namun, akhirnya beberapa peneliti mampu menyibak suara lirih dari sikap "nyleneh" kaum Samin, yaitu protes diam terhadap tata cara pemerintahan di Jawa (baik yang dilakukan oleh orang kolonial maupun kalangan bangawan pribumi) yang dianggap tidak adil dan menindas. Sikap Golput, pun layak ditafsirkan sebagai pernyataan diam terhadap ketidakpercayaan sistem yang dijalankan negara dalam mencapai tujuannya.

Di negara tetangga (Malaysia+Singapura), tatkala Inggris memutuskan melepas koloninya, sistem tetap dilanjutkan, sehingga pososi negara tetap kokoh dalam menjamin kelangsungan hidup warganya. Di negara kita, pasca merdeka, sistem memerintah dari Hindia Belanda dilepaskan sama sekali. Berbalut kebencian karena ditindas sekian lama, sistem untuk membangun tata kota dan prasarana publik lainnya dari pemeritah Hindia Belanda tidak banyak berbekas dalam pengaturan negara sampai sekarang.

It's too difficuilt to change the person's attitude, is easier to create a system, and persons will change the attitude suitable the system, ujar motivator James Gwee. Ia mencontohkan, meski orang Indonesia terkenal seenaknya sendiri, tetapi bisa tertib jika di Singapura, because the environment makes it! So, who create the system. Ujar Gwee, It's the Leader. Pemimpinlah yang bertanggung jawab membuat sistem.

Tapi anehnya, pada kebanyakan sektor publik di Indonesia, alih-alih membuat sistem yang mapan, pemimpin justru banyak berperan dalam merapuhkan sistem. Bu Camat bisa lebih berkuasa daripada Pak Camat. Seorang kadis harus rela digeser dari jabatannya karena menolak memenangkan tender keponakan gubernur. Seorang walikota rajin merotasi jabatan2 di bawahnya 3-4 tahun sekali, mencegah mengumpulnya kekuatan untuk menentang kebijakan-kebijakannya. Di penjara, seperti diceritakan oleh Arswendo, keputusan sering didasarkan pada "SK", artinya "Selera Komandan". Obama, saat masih senator pernah menyatakan keheranannya karena birokrat di Indonesia lebih melayani kepentingan orang-orang tertentu (para Jenderal) daripada intens mengelola urusan publik. Idiom "ganti pimpinan ganti kebijakan" sudah dianggap sesuatu yang lazim, dan menjadikan para birokrat idealis mempercayai bahwa sistem yang mapan dalam pengelolaan sektor publik hanya ada bangku-bangku kuliah semata. Where is the system?

Kembali ke Golput, saya memilih untuk tidak golput esok hari, bukan karena bujukan intens dari pendukung parpol atau persuasi media. Sebagaimana mereka yang memilih golput, saya juga tidak yakin bahwa suara saya akan membawa perubahan mendasar dalam tata cara mengelola negara di republik ini dalam menjamin kesejahteraan penduduknya. Milih atau tidak milih, enjoy aja. Saya hanya berusaha belajar, tepatnya terkesan, pada sebuah ilustrasi (dari sebuah film amerika) yang mengisahkan perjuangan seorang anak muda menjadi senator, hingga akhirnya ia duduk di meja kerjanya, membaca surat-surat yang masuk, mendengarkan dengan seksama permasalahan yang disampaikan kepadanya. Mungkin sistem seperti ini yang tengah dibangun dalam pemilu ini. "Kata kuncinya: "Mungkin" (sembari tetap menyalakan harapan...)

Kamis, 02 April 2009

Ketika Garasi menjadi Splash Park...


Libur akhir pekan tak harus dengan pergi keluar. Refreshing, bisa juga dilakukan di rumah, seperti yang saya putuskan akhir minggu ini, dengan mencuci mobil. Selain sejenak mengistirahatkan otak dari rutinitasnya, mencuci mobil juga memberikan kesempatan buat otot-otot untuk merenggang lebih dari sekadar menekan tuts-tuts komputer. Dan melihat sesuatu yang semula kotor menjadi bersih, oleh tangan sendiri, memberikan kenikmatan batin tersendiri.



Keasyikan itu ternyata tak berlangsung lama. Jenina, anak kembar pertama saya segera ikutan "nimbrung", dan tak berapa lama selang air pun ada pada kekuasaannya. Adik kembarnya, Rauda, tak mau ketinggalan: akhirnya ikut kebagian busa dan sabun. Akhirnya mereka berdua memegang kendali atas cuci mobil, meskipun sebenarnya lebih menjadi sarana untuk bermain water splash. Daripada manyun, saya ikuti permainan itu, dan pura-pura berperan menjadi mandor cuci mobil. Tak tahan mendengar keceriaan yang berlangsung, si Sulung, Fulli, ikutan bermain. Ia kebagian mencuci ban.



Rupanya, meskipun menganggap bermain, cukup serius di sini. Mobil terlihat cukup bersih. Wah, selain refreshing, pekerjaan saya sepertinya cukup terbantu. Akhirnya, bukan hanya mobil bersih yang saya dapat, tenaga saya pun sedikit terhematkan, dan saya bisa membuat anak-anak saya ceria di akhir pekannya, dengan biaya yang murah. Ah, anak-anak, selalu bisa menciptakan permainannya sendiri.




Ternyata lebih dari itu. Ada sesuatu yang lebih yang saya rasakan: ada perasaan yang lebih "cerah" ketika saya ikut bermain bersana anak-anak. Seperti membangkitkan energi homo ludens: melihat kehidupan secara lebih positif karena ada dalam suasana yang menyenangkan. Duh, anak-anak, terima kasih, bukan hanya karena membantu membuat mobil jadi mengkilat, tetapi juga memberikanku semangat keceriaan, dalam menyusuri hidup yang terasa semakin sesak ini.


Guru saya pernah menyebut anak-anak sebagai "beliau-beliau", karena kepada mereka-lah kita banyak belajar. Belajar sabar, belajar tulus, belajar ceria, dan lainnya. Tagore dalam salah satu puisinya berujar, "Pada setiap kelahiran anak, Tuhan masih menyimpan harapan kepada manusia." Sepertinya, anak-anaklah yang paling bisa membuat-Nya, tersenyum. Khidmat kepada anak-anak.







































Jumat, 20 Maret 2009

"Pelajaran"-nya justru setelah Pelajaran: sebuah Refleksi atas Pendidikan yang Mencerahkan

Cerita dari masa lalu:
Yang teringat dari Pak Pri, Drs. Supriono, guru matematika kala SMP, adalah dia sering berbagi pengalaman tentang hidup ketika tengah mengajar. Dikisahkan oleh kakak kelas saya waktu itu, "Kalau Pak Pri sudah cerita, buku matematika pun ditutup, dan anak-anak justru asyik mendengar cerita, hingga pelajaran selesai."
Satu penggalan peristiwa yang teringat, kala senja, hujan rintik-rintik (sekolah saya masuk siang waktu itu), Pak Pri menemani murid-muridnya yang tengah mengerjakan soal latihan matematika. Dia sempat berujar, "Aku kok kanyeben, yo" (maksudnya kedinginan). "Kalau ingat cuaca anyeb seperti ini, saya kok teringat saat anak saya sakit...", anak-anak sebagian mulai memindahkan perhatian dari buku ke guru, "...panas tinggi, nangis nggak berhenti-henti...", anak-anak perlahan-lahan mulai meletakkan pensilnya, selesai tidak selesai menyelesaikan soal, "...ia digendong ibunya, nangisnya tidak berhenti, panasnya semakin tinggi, eh, ibunya malah ikut nangis...", anak-anak tertawa perlahan, namun bersama-sama, "...saya ambil dan gendong anak saya, saya bingung nggak tahu harus berbuat apa...". Anak-anak sudah mulai berkonsentrasi pada cerita Pak Pri, "...Tiba-tiba saya kepikiran untuk sholat. Padahal selama ini saya sudah lama nggak sholat lagi. Saya gelar sajadah, anak saya saya tidurkan di depannya, dan saya mulai sholat. Tak berapa lama kemudian tangisnya berhenti, dan panasnya berangsur turun. Memang seolah ajaib, tapi itu terjadi nyata...", anak-anak manggut-manggut, dan melanjutkan mendengarkan Pak Pri menyelesaikan cerita itu: bahwa ia telah mengalami kejadian spiritual yang luar biasa, dan itu yang menjadikannya rajin sholat hingga sekarang.
Pak Pri, beserta sisipan-sisipan cerita setelah pelajar, adalah satu dari berbagai pengalaman mencerahkan yang saya dapat di sebuah sekolah di pinggir kota Semarang. Di balik kepandaian dan kekeluargaannya para guru, dedikasi para senior pramuka, dan kebersamaannya kawan-kawan, saya terbekali dengan bukan sekadar ilmu pengetahuan, tetapi nilai-nilai yang mampu mengubah sikap dan perilaku saya, hingga kini.
****
Cerita dari masa kini:
Beberapa hari lalu, di Kompas, seorang mantan juara Olimpiade Fisika mempertanyakan pengetahuan fisika yang diajarkan kepadanya: apakah ada relevansinya dengan kehidupan nyata. Seorang mahasiswa, dalam sebuah forum resmi, menyatakan bahwa selama 4 tahun kuliah di ITB, ternyata ia merasa tidak "belajar apa-apa". Seorang kawan, di forum fesbuk, menyatakan bahwa dia (sering) tidak akur dengan pendidikan formal. Senior saya mengatakan, secara bisik-bisik pas acara temu alumni, bahwa banyak alumni kita yang lulus dengan "pundung" (kecewa). Seorang rekan dosen, dalam milis, mengungkapkan bahwa hendaknya mahasiswa jangan dijadikan wahana eksistensi dosen. Duhai, inikah wajah pendidikan masa kini?
Ketika saya tengah masih mahasiswa itu, saya juga sempat merasakan bahwa "Life is begun since the last task is sumbitted". Bukan ujian terakhir, tetapi tugas terakhir, karena setelah ujian biasanya masih ada beberapa tugas yang musti dikumpulkan. Rasanya kelegaan yang sangat: dan saya bisa berpikir lebih lapang untuk melanjutkan aktivitas kemahasiswaan, bersilaturahmi dengan kawan-kawan, menulis di jurnal kampus, atau, ehm, mencoba menjalin cinta demi masa depan. Kesempatan terasa terhampar luar, memberi ruang buat karsa yang telah "menjalani hidup dalam ruang yang sesak" selama satu semester.
Di tengah sesaknya suasana pendidikan pragmatis seperti itu, saya sempat berpikir, idealnya tujuan pendidikan adalah untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang menjadi lebih baik. Namun bagi sebagian (besar) orang, pendidikan adalah sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Ini masih mending, daripada belajar dengan motivasi untuk bergaya (mendapatkan gelar). Atau ada juga yang nggak tahu tujuannya untuk apa, sekadar ikut teman atau disuruh orang tua. Idelita tujuan pendidikan, terasa berdiri dalam tempat yang sempit, ditengah berbagai motivasi (tepatnya: kepentingan) dalam realita pendidikan itu.
Namun, saya berhenti memaki pendidikan-yang-menurut-saya-tidak-mencerahkan itu, seiring dengan mulainya kesadaran untuk menerima realita apa adanya, baik atau buruk, sebagaimana keberadaan idealita sebagai bagian indah dari realita itu sendiri. Sebuah pikiran positif dimunculkan: meski tidak terlalu "mencerahkan": pengetahuan ala tukang yang saya dapatkan dari perkuliahan, minimal etos kerja seperti itu, cukup berperan dalam usaha saya mencari nafkah sampai sekarang. Meskipun kalau diakui lebih dalam dan jujur, sebenarnya lebih banyak "pengetahuan tentang hidup" yang jauh lebih berperan, yang memang tidak sempat terpelajari dalam dalam kuliah-kuliah formal.
Saya beruntung pernah mendapatkan "pelajaran" (sejati) setelah pelajaran (sekolah) ala Pak Pri. Sama beruntungnya ketika merasakan diajar oleh guru-guru berkemampuan tinggi namun tetap dalam suasana kekeluargaan. Namun, saya juga mencoba merasa "beruntung" pernah dididik selayaknya tukang "ahli" pencari kerja. Seperti "keberuntungan" ketika harus menjalani menjadi bagian dari eksistensi (atau egoisme?) dari dosen saya. Saya beruntung telah mengalami pendidikan "yang tidak mencerahkan", tidak memberi pengaruh signifikan pada perubahan sikap dan perilaku, pendidikan yang sekadar memenuhi target tertentu, bersanding dengan "pelajaran-pelajaran" tentang hidup yang "mencerahkan".

Rabu, 25 Februari 2009

Humor Sepakbola

Humor sepakbola di Indonesia saat ini sebenarnya kalah lucu dengan sepakbola beneran. Tetapi biarlah saya tuliskan sekadar untuk menambah wawasan, sukur-sukur membuat tersenyum atau tertawa. Selagi orisinal, lho...

Pemain Sepakbola (1)

Pusdik Militer di Cimahi yang pernah melatih pemain sepakbola Inggris
Pusat Pendidikan Perbekalan dan Hangkutan Muatan
Pusdikbeckham

Mantan striker Argentina yang akrab dengan tukang las
Gabriel Besitua

Mantan Playmaker kesebelasan Argentina yang suka ditunggui
Juan Sebastian Peron (KA)

Mantan pemain Argentina yang jadi langganan tukang tambal ban
Mario Kempes

Mantan bintang Polandia yang jadi supporter Persebaya
Zbignew Bonek

Mantan kapten tim Primavera yang disukai ibu-ibu
Kuku Bima Sakti

Pemain Primavera yang menjadi Striker sekaligus Kiper
Kurniawan Sandy

Kiper legendaris Indonesia yang taat beragama
Ronny Paskah

Pemain Argentina yang suka ngerjain orang
Ariel Oh tega

Pemain Spanyol yang jadi juragan susu
Xavi (baca: Sapi)

Pemain Argentina yang membangkitkan selera makan
Herman Crispy

Klub Italia yang membuat sejuk pemainnya
AC Milan, AC Parma

Klub sepakbola gabungan dua bangsa
AS Roma

Klub terkenal Eropa yang mengingatkan dengan kuda di jalan Ganeca
Bercelana

Striker Indonesia yang suka membantu pencernaan makanan
Ricky Yakult

Striker Indonesia yang jago membajak
Adolf Kebo

Pemain-pemain bola yang berkolaborasi membuat mobil
Michael Platina
Andy Coil
Luca Bussi
David Plat
Thomas Hevelg

Pemain yang jadi investornya
Honda Savicivic

Pemain Korea yang suka melihat binatang
Anjung Hewan

Mantan bintang Belanda yang mau ikut UFC
Ruud Gullat

Pemain Kroasia yang suka mencakar
Zvonimir Baboon

Bek Perancis yang sulit cemerlang
Lilian Suram

Penyerang Kroasia yang suka membuat soal yang tidak mudah dijawab
Davor Sukar

Mantan Libero Italia yang selalu menuntaskan pekerjaan
Franco mBeresi

Pemain Nigeria yang sangat “sensitif”
Nwanko Anu

Pemain Italia yang lucu
Roberto Bagito
Dino Bagio

Pemain Italia yang paling sedih saat kalah
Alessandro Nestapa

Mantan striker Italia yang hobinya ke Bandung buat bikin peuyeum
Pierluigi Casih ragi

Pemain Kroasia yang jadi supplier aluminium
Alen Boksit

Pemain Eropa yang bersaudara tetapi berlainan negara
Davor Sukur dan Hakan Suker

Bek Inggris yang disukai orang Minang
Sol Sambell

Pemain bola yang merangkap jadi petinju
Pemain sepakbola Indonesia

Ketika Saya Ingin Membangun Taj Mahal...

Saya merasakan hari-hari ini terasa panjang, dan tanpa harapan. Kemarin masih seperti rutinnya hari-hari biasa: berangkat kerja, pulang ke rumah, sambil sebelumnya mampir cari "klangenan", di gramedia atau vertex. Dan malamnya saya sempat menonton DVD, membuka ruang untuk menghibur diri sendiri, sebelum tidur dan esoknya bekerja kembali.

amun, hari ini terasa lain, selain panas yang tak terkira. Sebuah berita yang saya terima menyatakan bahwa istri saya, yang sebelumnya pamit mau pergi, ternyata tak akan kembali lagi. Hilang dalam sebuah peristiwa, dan telah dinyatakan tak ada harapan untuk kembali.

Semula saya masih menyimpan harapan ia akan ditemukan. Namun akhirnya saya berpikir realistis untuk melepas kepergiannya. Ibu saya dan ibu istri saya datang ke rumah. Kepada beliau saya mengeluhkan siapa yang akan meng-handle anak-anak. Siapa yang tiap malam akan mendampingi mereka belajar menulis dan mengaji. Siapa yang akan rela mengurusi tetek bengek urusan anak-anak dan keluarga.

Kerabat dan kawan-kawan berdatangan. Dan hari-hari pun saya lalui semakin panas. Panjang dan hampa, tanpa makna. Dari mulut ini tak henti keluar keluhan dan kata-kata putus asa. Para kerabat mencoba menghibur. Dari mencarikan pembantu dan baby sitter yang akan mengurus anak-anak dan rumah tangga, sampai membuka kemungkinan untuk mencarikan istri baru. Pikiran saya berusaha untuk saya tegar-tegarkan, tapi tetap saja hati ini terasa tanpa semangat lagi. Hari-hari semakin terasa panjang dan melelahkan. Bahkan sudah terpikir untuk menghitung hari menuju mati. Tetapi, anak-anak yang lucu-lucu dan luar biasa itu, siapa yang akan merawat mereka tumbuh.


"Dia tak akan terganti", ujarku dalam hati. Lalu kepada kerabat yang sudah datang, kuutarakan keinginanku, andai aku punya kekuasaan yang besar, akan kubangunkan serupa Taj Mahal untuk mengenang dia. Yah, mungkin tidak sebesar itu, sesuai dengan kemampuanku. Lalu...

Tiba-tiba aku terbangun dan menemukan istriku tidur nyenyak di sampingku, membungkus dirinya dengan selimut tebal. Sempat kaget, karena biasanya ia didaulat si Kembar untuk menemani tidur mereka hingga pagi. Segera kupeluk dan kucium dia, merasa bersyukur karena ia masih ada menemani hari-hari ku. "Wuk, aku mimpi buruk, kamu nggak ada," kataku padanya. Sambil setengah sadar, balasnya. "Mesti belum solat sebelum tidur. Sudah solat dulu".

Di pembaringan aku mengumpulkan kembali kesadaranku. Meski mimpi, rasanya lama sekali, dan rasa kehilangan dan kehampaan itu benar-benar terasa. Isya-ku malam ini sudah pasti teriring tahajud. Benar-benar bersyukur rasa kehilangan yang kualami ternyata hanya mimipi.

Paginya aku memenuhi janjinya untuk mengantar anak-anak ke sekolah, karena dia akan berangkat lebih siang. Seperti biasa. Tetapi pagi ini terasa berbeda.