Rabu, 08 April 2009

Golput: Suara Lirih

Iseng-iseng (karena tujuannya sekadar untuk rame-rame) saya mem-posting pikiran saya tentang rapuhnya sistem penghitungan suara pemilu. Ternyata banyak kawan-kawan saya yang merespon: selain seorang yang aktif mem-posting menyuruh untuk tidak golput (dengan tendensi pada salah satu partai), banyak kawan lain yang menyatakan ke-golput-annya. Secara sistem golput memang tidak mempengaruhi pemilu, tetapi sebenarnya ada suara lirih dari mereka yang tidak memutuskan (secara sadar) dalam pemilu kali ini (banyak dugaan, proporsinya akan besar sekali saat ini).

Suara lirih golput ini, mengingatkan saya pada suara lirih kaum Samin (tepatnya: kaum Sedulur Sikep) di pesisir utara Jawa Tengah. Umumnya (seperti pernah diceritakan Kakek saya), orang kebanyakan menilai perilaku orang Samin aneh, "nyleneh" dari kebiasaan orang Jawa pada umumnya. Namun, akhirnya beberapa peneliti mampu menyibak suara lirih dari sikap "nyleneh" kaum Samin, yaitu protes diam terhadap tata cara pemerintahan di Jawa (baik yang dilakukan oleh orang kolonial maupun kalangan bangawan pribumi) yang dianggap tidak adil dan menindas. Sikap Golput, pun layak ditafsirkan sebagai pernyataan diam terhadap ketidakpercayaan sistem yang dijalankan negara dalam mencapai tujuannya.

Di negara tetangga (Malaysia+Singapura), tatkala Inggris memutuskan melepas koloninya, sistem tetap dilanjutkan, sehingga pososi negara tetap kokoh dalam menjamin kelangsungan hidup warganya. Di negara kita, pasca merdeka, sistem memerintah dari Hindia Belanda dilepaskan sama sekali. Berbalut kebencian karena ditindas sekian lama, sistem untuk membangun tata kota dan prasarana publik lainnya dari pemeritah Hindia Belanda tidak banyak berbekas dalam pengaturan negara sampai sekarang.

It's too difficuilt to change the person's attitude, is easier to create a system, and persons will change the attitude suitable the system, ujar motivator James Gwee. Ia mencontohkan, meski orang Indonesia terkenal seenaknya sendiri, tetapi bisa tertib jika di Singapura, because the environment makes it! So, who create the system. Ujar Gwee, It's the Leader. Pemimpinlah yang bertanggung jawab membuat sistem.

Tapi anehnya, pada kebanyakan sektor publik di Indonesia, alih-alih membuat sistem yang mapan, pemimpin justru banyak berperan dalam merapuhkan sistem. Bu Camat bisa lebih berkuasa daripada Pak Camat. Seorang kadis harus rela digeser dari jabatannya karena menolak memenangkan tender keponakan gubernur. Seorang walikota rajin merotasi jabatan2 di bawahnya 3-4 tahun sekali, mencegah mengumpulnya kekuatan untuk menentang kebijakan-kebijakannya. Di penjara, seperti diceritakan oleh Arswendo, keputusan sering didasarkan pada "SK", artinya "Selera Komandan". Obama, saat masih senator pernah menyatakan keheranannya karena birokrat di Indonesia lebih melayani kepentingan orang-orang tertentu (para Jenderal) daripada intens mengelola urusan publik. Idiom "ganti pimpinan ganti kebijakan" sudah dianggap sesuatu yang lazim, dan menjadikan para birokrat idealis mempercayai bahwa sistem yang mapan dalam pengelolaan sektor publik hanya ada bangku-bangku kuliah semata. Where is the system?

Kembali ke Golput, saya memilih untuk tidak golput esok hari, bukan karena bujukan intens dari pendukung parpol atau persuasi media. Sebagaimana mereka yang memilih golput, saya juga tidak yakin bahwa suara saya akan membawa perubahan mendasar dalam tata cara mengelola negara di republik ini dalam menjamin kesejahteraan penduduknya. Milih atau tidak milih, enjoy aja. Saya hanya berusaha belajar, tepatnya terkesan, pada sebuah ilustrasi (dari sebuah film amerika) yang mengisahkan perjuangan seorang anak muda menjadi senator, hingga akhirnya ia duduk di meja kerjanya, membaca surat-surat yang masuk, mendengarkan dengan seksama permasalahan yang disampaikan kepadanya. Mungkin sistem seperti ini yang tengah dibangun dalam pemilu ini. "Kata kuncinya: "Mungkin" (sembari tetap menyalakan harapan...)

Kamis, 02 April 2009

Ketika Garasi menjadi Splash Park...


Libur akhir pekan tak harus dengan pergi keluar. Refreshing, bisa juga dilakukan di rumah, seperti yang saya putuskan akhir minggu ini, dengan mencuci mobil. Selain sejenak mengistirahatkan otak dari rutinitasnya, mencuci mobil juga memberikan kesempatan buat otot-otot untuk merenggang lebih dari sekadar menekan tuts-tuts komputer. Dan melihat sesuatu yang semula kotor menjadi bersih, oleh tangan sendiri, memberikan kenikmatan batin tersendiri.



Keasyikan itu ternyata tak berlangsung lama. Jenina, anak kembar pertama saya segera ikutan "nimbrung", dan tak berapa lama selang air pun ada pada kekuasaannya. Adik kembarnya, Rauda, tak mau ketinggalan: akhirnya ikut kebagian busa dan sabun. Akhirnya mereka berdua memegang kendali atas cuci mobil, meskipun sebenarnya lebih menjadi sarana untuk bermain water splash. Daripada manyun, saya ikuti permainan itu, dan pura-pura berperan menjadi mandor cuci mobil. Tak tahan mendengar keceriaan yang berlangsung, si Sulung, Fulli, ikutan bermain. Ia kebagian mencuci ban.



Rupanya, meskipun menganggap bermain, cukup serius di sini. Mobil terlihat cukup bersih. Wah, selain refreshing, pekerjaan saya sepertinya cukup terbantu. Akhirnya, bukan hanya mobil bersih yang saya dapat, tenaga saya pun sedikit terhematkan, dan saya bisa membuat anak-anak saya ceria di akhir pekannya, dengan biaya yang murah. Ah, anak-anak, selalu bisa menciptakan permainannya sendiri.




Ternyata lebih dari itu. Ada sesuatu yang lebih yang saya rasakan: ada perasaan yang lebih "cerah" ketika saya ikut bermain bersana anak-anak. Seperti membangkitkan energi homo ludens: melihat kehidupan secara lebih positif karena ada dalam suasana yang menyenangkan. Duh, anak-anak, terima kasih, bukan hanya karena membantu membuat mobil jadi mengkilat, tetapi juga memberikanku semangat keceriaan, dalam menyusuri hidup yang terasa semakin sesak ini.


Guru saya pernah menyebut anak-anak sebagai "beliau-beliau", karena kepada mereka-lah kita banyak belajar. Belajar sabar, belajar tulus, belajar ceria, dan lainnya. Tagore dalam salah satu puisinya berujar, "Pada setiap kelahiran anak, Tuhan masih menyimpan harapan kepada manusia." Sepertinya, anak-anaklah yang paling bisa membuat-Nya, tersenyum. Khidmat kepada anak-anak.