Sabtu, 19 September 2009

Malam Lebaran: Bulan di atas Kuburan

Judul di atas merupakan puisi karya Sitor Situmorang yang saya kenal pertama kali kala SMP. Ya, puisi itu memang berisi kata-kata yang menjadi judul tulisan ini. Karena itulah saya hafal sampai sekarang.Bu Lastri, guru bahasa sastra saat itu, menjelaskan makna di balik puisi singkat Oom Sitor itu. Puisi itu, kata Bu Lastri, melambangkan kritik sang penyair terhadap cara berlebaran masyarakat Indonesia. Lebaran, harusnya diperingati dengan renungan mendalam, sebuah kedukaan karena harus berpisah dengan bulan gelimang pahala. Tapi orang-orang malah merayakannya dengan foya-foya.

Namun beberapa tahun setelah itu, saya mendapatkan penjelasan lain mengenai puisi itu. Konon Pak Sitor tidak menyampaikan opini apa-apa terhadap puisinya tersebut. Kebetulan pas malam lebaran, dia melihat ada bulan di atas kuburan. Cling... dan lahirlah puisi tersebut. Tetapi kalau dilihat lebih jeli, penjelasan ini sepertinya tidak tepat, mengingat lebaran selalu jatuh pada tanggal 1 kelender hijriah, di mana bulan tidak terlihat dari bumi. Atau jangan-jangan yang ngawur itu puisinya. Cobalah tengok ke langit kala malam lebaran. Kecuali petugas hilal (yang melihat bulan dengan teropong), niscaya Anda tak akan melihat bulan.

Ngawur atau tidak, mbeling atau serius, pengamatan atau khayalan, puisi itu jelas telah menamkan makna bagi banyak orang. Seperti interpretasi yang diajarkan Bu Lastri kepada anak2 didiknya: dimana harusnya kita merenung akan kedukaan kita, dan bukannya berfoya-foya.

Hmm, kali ini saya punya penafsiran tersendiri. Kebetulan saat ini malam lebaran, dan ada sedikit kedukaan yang tengah menemani saya. Tetapi ini cukup mengantarkan empati saya pada kedukaan-kedukaan yang lebih besar yang dialami saudara-saudara saya pada malam lebaran. Kedukaan yang dialami mereka yang "berani mati" untuk mengantre sembako ramadhan. Kedukaan yang saya lihat ketika para mustahiq menunggu dari pagi, sebelum panitia zakat datang, untuk menerima jatah zakat fitrah mereka. Kedukaan yang dialami seorang anak kecil yang setelah menerima paket zakatnya, dicegat oleh 3 orang lelaki dewasa, dan memaksa anak tersebut untuk menyerahkan bungkusan zakat itu. Zakat fitrah, yang oleh Nabi Muhammad diharuskan diberikan kepada mereka yang berhak sebelum sholat idul fitri. "Supaya di tidak ada kelaparan di Hari Raya", pesan beliau.

Di balik konsep zakat fitrah ini, tersimpan kenyataan bahwa memang ada kelaparan pada hari raya. Memang ada kedukaan saat masa lebaran. Kedukaan karena manusia harus menjalani takdirnya hidup di bumi ini. Namun, ditengah kedukaan itu, masih ada seberkas sinar yang menyapa. Masih ada zakat fitrah yang bisa melupakan rasa lapar pada masa lalu.

Yah, masih ada bulan di atas kuburan di malam lebaran.

Tidak ada komentar: